Paradigma Dasar Ternak Kelinci
2 November 2009 — Kabar Kelinci Indonesia-Ikhtiar Memajukan Peternakan Kelinci Melalui Investasi dan Pemberdayaan
Sebelum masuk ke pembahasan tentang ternak kelinci, saya ingin mengajak kita memakai landasan berpikir lebih mendasar dalam hal ini.
Mula-mula dalam melihat “ternak kelinci” kita mesti memakai dua kombinasi pemikiran, yakni abstrak dan praktis. Keduanya sangat penting. Sekalipun bidang usaha sangat didominasi oleh hal-hal yang pragmatis, tetapi untuk menguasai komponen pragmatisme itu mestilah menguasai abstraksi. Dengan paradigma yang baik, kita bisa melihat secara gamblang ragam kerumitan yang terjadi di dalamnya. Karena alasan inilah setiap kali saya ditanya bagaimana langkah awal budidaya kelinci mesti dijawab melalui pendekatan analisa umum, baru kemudian menukik ke masalah-masalah spesifik.
Kata potensi memang perlu didudukkan pada awal pembicaraan kelinci karena memang disitulah ketertarikan kita semua: utamanya sebagai pendulang uang, selainnya ialah alternatif untuk pemberdayaan masyarakat desa, peluang bisnis dan selebihnya ialah untuk hobies. Tiada salah kita meletakkan uang sebagai tujuan. Bahkan dalam banyak hal saya menyarankan uang menjadi sasaran utama. Tetapi di sini paradigma tentang uang juga mesti ditafsir secara tepat, yakni sebagai “efek” dari kecanggihan kita mengolah potensi. Sebab sebesar apapun potensi dan semudah apapun mengurus pekerjaan, jika tidak diolah (dikelola) secara baik niscaya akan terlantar.
Dari kacamata kewirausahaan, setiap hal memang memiliki peluang karena kelebihannya. Kelebihan kelinci diantaranya ialah kecepatan reproduksi, cocok untuk usaha rakyat kecil, banyak manfaat, masih sangat minim pemelihara dan pasar sangat luas terbuka. Bahkan kami punya keyakinan, sampai beberapa tahun ke depan bisnis kelinci tiada butuh persaingan. Dengan kata lain, dari sisi produksi bisa cepat, banyak manfaat, bisa dikerjakan banyak orang, bisa dengan modal murah, dan menjualnya pun ”mudah.”
Masalahnya kenapa selama ini terabaikan oleh masyarakat kita?
Masalahnya kenapa selama ini terabaikan oleh masyarakat kita?
Pertanyaan ini perlu saya ajukan sebelum nanti kita kembali membahas masalah mengelola potensi kelinci. Beberapa alasan sudah saya sampaikan di Buku Ternak Uang (Nuansa Cendekia Juli 2009).
Pertama : Masyarakat kita sudah jauh dari “ideologi” beternak maupun bertani.
Kedua : Tidak memiliki lahan dan sarana pendukung, seperti pasokan rumput, pengelolaan pakan dan lain sebagainya. Ketiga, kelinci impor dengan model pemeliharaan modern untuk skala besar belum banyak diketahui masyarakat.Tiga alasan dengan penjelasan lebih detail dalam buku ternak uang tersebut saya kira sudah cukup untuk menjawab. Tetapi ada baiknya saya tambahkan satu hal lagi, yakni bahwa ketidakseriusan pemerintah dalam melihat peluang ini. Akan menjadi lain masalahnya manakala pemerintah bersikap serius dan agresif seperti Cina dan Vietnam di mana di kedua negara itu kini sudah merasakan potensi peluang usaha kelinci, terutama di Cina.
Dua hal yang mendasar dari ketidakseriusan pemerintah itu diantaranya ialah tidak melihat para peternak kelinci sebagai aset dan memberikan insentif bibit unggul dan pemberdayaan secara serius. Bagaimanapun juga, di mana pun juga, setiap usaha tidak sekedar butuh modal uang, melainkan juga ilmu pengetahuan dan urusan pasar. Kalau kita selalu melihat bahwa negara punya kewajiban mencerdaskan rakyatnya, maka di sinilah terlihat jelas bagaimana peranan negara kita tidak nyambung. Seolah-olah pendidikan hanya dalam ruang lingkup akademisi semata.
Hal ini sangat terasa manakala berbagai penemuan lapangan setiap kali Pemerintah Daerah (Pemda) mengadakan pemberda-yaan ternak kelinci hanya difokuskan adalah insentif modal uang semata. Di Jawa Barat banyak peternak hasil “pemberdayaan” Pemda gagal total karena ketidakseriusan memperhatikan SDM.
Landasan Ilmu
Kembali ke soal peluang, maka sesungguhnya hal yang terpenting dari maju dan tidaknya ternak kelinci secara modern (dari hulu ke hilir =dari kandang ke pasar) sangat membutuhkan pasokan ilmu pengetahuan yang kuat, motivasi yang handal serta komitmen menjadi usahawan kelinci sejati. Pengalaman di lapangan membuktikan, bahwa kemiskinan ilmu pengetahuan lebih berbahaya ketimbang kemiskinan materi (modal uang). Kita harus mendudukkan bahwa kebodohan dan kemiskinan ini adalah ratai kasar, belenggu, yang harus dilepaskan terlebih dahulu. Tetapi kalau keduanya tidak bisa dilepaskan seketika, maka saya akan mengusulkan lebih penting melepaskan belenggu kebodohan terlebih dahulu, baru kemudian kita melepaskan kemiskinan.
Strategi konkretnya untuk meraih sukses sebuah peternakan di kalangan kaum tani bisa kita mulai dengan pemberdayaan di beberapa orang, maksimal 10 orang. Dari 10 orang ini saja mesti dibutuhkan leadership yang handal. Jika tidak ada leader dari salahsatu peternak tersebut dipastikan sulit berkembang karena biasanya dalam masa sulit peternak pemula yang kurang tangguh sering gulung tikar. Dengan ada leader yang kuat, diharapkan mereka yang gulung tidak tidak mempengaruhi peternak lain yang belum berkembang bagus.
Dalam skala memulai usaha ternak bersama dengan jumlah lebih sedikit, yakni 3-5 orang manajemen kontrol barangkali lebih mudah. Dengan pola kecil merayap tetapi serius ini, diharapkan tingkat kerugian lebih kecil. Manajemen ini saya ajukan sebagai pola konservatif, tetapi memiliki resiko yang kecil. Memang sedikit agak lambat, tapi lebih aman. Sedangkan bagi yang menginginkan gerakan lebih cepat saya ajukan usulan untuk beternak sendiri terlebih dahulu selama satu sampai 1,5 tahun, baru kemudian menularkan modal bibit ke peternak lain. Selama masa setahun ini kita bisa menggaulkan orang terdekat untuk menimba ilmu pengetahuan. Baru kemudian diseriuskan ke arah peternakan yang lebih banyak dan dibesarkan.
Adapun untuk peternak yang memulai usaha untuk sendiri barangkali lebih mudah karena tidak perlu memobilisasi ilmu kepada orang lain. Ternak individu adalah langkah awal yang lebih efektif. Berniat sendiri, bermodal sendiri, kreatif sendiri, menggembleng pemikiran dan etos kerja sendiri adalah pilar dasar yang paling baik. Setelah kelak sukses barulah kemudian ilmu pengetahuan dan pengalamannya ditularkan. Selama tidak pelit dan memiliki semangat sosial yang tinggi, orang seperti ini akan menjadi panutan banyak peternak lain, sebagai contoh adalah Asep Sutisna, ketua Paguyuban Peternak Kelinci di Lembang Bandung atau Ren Zuping dari China.
Kenapa ilmu pengetahuan menjadi penting?
Kita bisa berkaca pada dunia pertanian (tradisional) dan agribisnis(wirausaha tani modern). Di sana memang terletak jurang permodalan yang sangat besar, tetapi di luar modal sesungguhnya ilmu pengetahuan menjadi pembeda yang paling substansial untuk menyatakan bahwa pertanian itu identik dengan kemiskinan sementara agribisnis sarat dengan kemakmuran dan stabilitas penghasilan. Dalam peternakan modern (terkait dengan konsep domestifikasi ternak kelinci ini), maka kita pun mesti berpikir demikian.
Kita sering berpikir bahwa memelihara kelinci itu mudah karena masyarakat kita sudah terbiasa dengan kelinci. Logika itu sangat menyesatkan karena kelinci umbaran terbukti tidak menghasilkan nilai ekonomis yang baik. Di sini kita harus memperhatikan apa itu domestifikasi peternakan. Beberapa hal yang penting ialah bahwa, pertama perawatan kelinci secara domestik adalah memenjarakan kelinci (hewan liar) dalam sebuah kehidupan yang sempit. Kita mesti memakai pola kehidupan yang membuat kelinci benar-benar nyaman, senang dan kerasan, terhindar dari stress sehingga mampu berproduksi secara baik.
Satu hal ini saja seringkali diabaikan. Terlihat di berbagai kandang petani kebersihan, pasokan makanan dan kenyamanan sering diabaikan. Karena itulah saya sering melihat kenyataan ini mengakibatkan tingkat produktivitasnya rendah dibanding dengan peternak yang benar-benar berilmu dan berpikir maju.
Kedua, dari berbagai praktik peternakan, ternyata mereka para peternak yang bertahan lama memiliki rasionalitas dan etos kerja yang baik. Rasionalitas dalam hal ini bukan semata diukur kecerdasan akademik, melainkan lebih pada sikap sungguh-sungguh dalam belajar dan serius menerapkan teori-teori sekaligus kreatif dalam mengatasi setiap masalah, terutama dalam hal problem pakan dan kesehatan.
Jadi masalahnya bukan terletak pada bakat/waris atau tidaknya, melainkan bagaimana bersungguh-sungguh dalam menerapkan paradigma ternak yang berpijak pada ilmu ternak. Karena itu kalau bicara ideal tentang pemberdayaan awal ternak di suatu desa yang belum memahami ternak kelinci domestik mestinya akan lebih bagus jika dirintis lebih sedikit orang tetapi dalam setahun kemudian mampu memproduksi banyak kelinci, baik untuk bibit masyarakat sekitar maupun untuk pembukaan usaha pasca panen.
Dengan kesuksesan satu orang itu saja, kita tidak butuh meyakinkan secara lisan bahwa kelinci memiliki potensi. Masyarakat kita adalah masyarakat berpikir empiris. Manakala diceritakan secara lisan maupun tulisan mereka tidak akan yakin dan fatalnya jika melihat kesuksesan itu secara fenomenologis, mereka menganggap diri mereka sudah mahir dan langsung tancap gas. Akibatnya sering fatal. Tetapi manakala sudah melihat secara empiris dalam kurun waktu yang cukup lama, berbulan-bulan, dengan sendirinya mereka akan menyaksikan bagaimana proses dan kesuksesan itu berjalan secara sebanding.
Rasanya memang tidak terlalu penting mengampanyekan potensi kelinci kepada masyarakat secara terus-menerus. Sebab, kalaupun masyarakat petani percaya dan langsung beternak, tidak banyak yang membuktikan kesuksesan. Masalah-masalah yang membuat ternak gagal biasanya bukan pada penjualan, melainkan pada level produksi, terutama mengatasi angka kematian yang tinggi, rendahnya produktivitas dan di luar itu satu masalah lagi ialah kurang seriusnya menjadi peternak.
Kekurang-seriusan menjadi peternak kelinci ini biasanya karena salah dalam melihat kelinci sebagai hewan yang pemeliharaannya harus dibedakan dengan ternak ayam, kambing dan sapi. Di sini soal mentalitas dan etos kerja mesti diperhatikan sungguh-sungguh. Karena itu akan lebih penting dan mendasar manakala kita memberikan bukti kepada masyarakat dengan memperkuat satu dua peternak di daerah untuk kemudian menjadi leader bagi warga sekitar, melebar hingga dua kecamatan. Kalau kelak kemajuan sudah mencapai tahap yang lebih luas, di situ kita akan bicara tentang pentingnya koperasi sebagai pilar dasar kebersamaan dalam menghadapi problematika pasar.
Kebutuhan mendasar saat ini
1) Bibit unggul.
Untuk kelinci pedaging jenis new Zealand dan Flemish giant dan jenis kelinci lain sangat mendesak. Lebih utama kalau kita mendapatkan bibit unggul langsung dari peternakan kelinci di Amerika, atau Inggris.
Hal ini diperlukan supaya ada peremajaan induk dan dari sisi jenis tetap terjaga sehingga para peternak bisa memilih keturunannya secara lebih mudah. Jika ada sebuah peternakan untuk Induk barangkali akan menjadi sentra indukan yang paling terkemuka saat ini dan itu sangat bermanfaat bagi keberlangsungan peternak lain. Keuntungan dalam hal ini sangat tinggi dan sangat potensial. Berhubung mengelola bibit sangat butuh ilmu dan pengalaman yang baik maka disarankan agar dikelola oleh peternak yang sudah handal. Soal keuntungan bisa dibaca di buku Ternak Uang.
Masih terkait dengan potensi induk, seyogianya rintisan awal peternak memperhatikan induk yang baik (sekalipun tidak impor). Hasil studi penulis di beberapa daerah di Jawa Barat, keturunan yang kurang baik sangat mempengaruhi tingkat produktivitas, jenis dan kualitas daging. Karena itulah konsep leader yang saya bicarakan di atas tersebut sangat berkaitan dengan kepemimpinan dalam induk berkualitas; sebab hal ini akan terkait dengan kemajuan peternakan di sekitar kita.
2) Investasi.
Indonesia masih terbilang miskin stok kelinci. Satu sebab karena pemerintah belum memberikan insentif yang serius. Pemerintah setiap tahun mengimpor bibit sapi dan domba, tetapi tak pernah terdengar kabar mengimpor bibit kelinci. Kita hanya mendengar pada tahun 1980 Presiden Soeharto mencarikan bantuan bibit kelinci unggul kepada para peternak kelinci di kawasan Setiabudi melalui usaha loby Ma’mur Suriaatmadja. Tetapi kalau berharap pada pemerintah terlalu lama, sebaiknya memang peranan investasi swasta dengan modal besar sangat dibutuhkan. Induk berkualitas sangat baik untuk melebarkan sayap peternakan kelinci di berbagai daerah. Investasi bibit unggul ini selain paling menguntungkan untuk saat ini (lihat potensi peluang usaha bibit unggul di Buku Ternak Uang), juga sangat bermanfaat bagi peternak lain supaya mereka mendapatkan bibit unggul yang baik. Karena itu saya menyarankan secara terbuka pihak swasta bermodal besar untuk investasi secepatnya kepada peternak handal.
Sekian dulu presentasi. Masih banyak hal yang bisa kita kembangkan dalam bentuk diskusi. Terimakasih.
Faiz Manshur
Bandung 14 Oktober 2009.
Makalah Pelatihan Ternak Kelinci, Hotel Galuh Prambanan 17-18 Oktober 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar